Monday, August 24, 2009

Stuck in the middle

1 goodnight kisses
Menurut gue jalan raya paling lebar di Jogja adalah jalan raya magelang bagian atas. Lebarnya nggak kira-kira banget. Dua kalinya Jalan Palagan Tentara Pelajar ~ jalan rumah gue. Yah, artinya harus mikir 10 kali kalo mau nyebrang di jalan itu. Bahkan jika kita pake kendaraan bermotor.

Yang lewat di jalan itu nggak cuma bis-bis biasa aka kopata atau mikrolet. Tapi bis yang bener-bener gede (pariwisata gitu deh) dan tentunya juga truk-truk yang juga gede. Mostly ngangkut barang-barang yang gede juga kayak mobil, ban, motor, spare part, banyak deh. kalo mau liat, datanglah ke jalan magelang dan berdirilah di tengah-tengah jalan itu. Anda akan merasa seperti mau mati.

Gue pernah iseng ( dan emang lagi bego gila ). Di jalan itu ada gereja yang sering gue kunjungi setiap Minggu. Biasanya serombongan gitu sama emak, babe, dan dua tuyul cebol piaraan gue (my sisters I mean). Cuma bokap yang biasanya males muter cuma nurunin di seberang jalan dan kita harus nyebrang. Bokap gue nyentrik poooll. Jadi dia ke gereja kalo ada moodnya doang. Semua berjalan dengan lancar sampai tiba saatnya gue menyeberang. Gue, yang waktu itu lagi bisa nyebrang, ceritanya mau pamer keahlian baru gue. Sisi jalan di depan gue ( sisi jalan pertama ~ mobilnya dari arah kanan ) udah sepi. Gue maju dan berjalan santai lalu berhenti di tengah. YES, BERHASIL-BERHASIL-BERHASIL HORRAAAY ! Gue loncat-loncat dan bergaya ala Dora The Explorer ( ya engga lah ! ).


Next step..
Jalan di belakang gue (yang barusan gue lewatin) udah mulai rame. Yang di depan gue juga masih rame. Gue nggak tau harus gimana. Mau mundur takut kejedor dari belakang. Mau maju takut mati. Jadilah gue diam disitu sementara emak-emak dan tuyul-tuyul di belakang sana ngikik liat kuntilanak bingung di tengah jalan. Lamaaa... akhirnya jalan depan sepi juga. Pas gue mau maju, tiba-tiba ada truk super gede datang dari arah kiri. Maaak ! bawa mobil banyak banget ! takut banget gue . masih mending ketlindes truk. Nah ini, bakal kejatuhan mobil banyak juga ntar ! sangat tidak lucu saudara-saudara. Balik aaah...

Eh ternyata dari arah kanan-belakang juga ada bus pariwisata yang gede banget melaju dengan kencang.  WAAAAAAA !! Gue teriak sekenceng-kencengnya sambil berdoa semoga gue selamet . Gue bener-bener kejepit di antara 2 kendaraan sialan yang gede-gede banget itu ! anjrit ! jantung gue langsung berhenti berdetak . Mulut tak bersuara . Jiwa melayang . Dan oh Tuhan , gue selamat dengan badan gemetaran dan keringat segede biji jagung hibrida . Maaak .. seram sekali :(

Sampai sekarang gue nggak berani sok bisa nyebrang lagi .
Mending disebrangin daripada kejepit untuk kedua kalinya !
Euuww..

Ps: ini hal tergila yang pernah gue lakukan. hahahaha


Friday, August 7, 2009

Kepada Kamu Dengan Penuh Kebencian*

1 goodnight kisses
Kepada kamu,
Dengan penuh kebencian.

Aku benci jatuh cinta. Aku benci merasa senang bertemu lagi dengan kamu, tersenyum malu-malu, dan menebak-nebak, selalu menebak-nebak. Aku benci deg-degan menunggu kamu online. Dan di saat kamu muncul, aku akan tiduran tengkurap, bantal di bawah dagu, lalu berpikir, tersenyum, dan berusaha mencari kalimat-kalimat lucu agar kamu, di seberang sana, bisa tertawa. Karena, kata orang, cara mudah membuat orang suka denganmu adalah dengan membuatnya tertawa. Mudah-mudahan itu benar.

Aku benci terkejut melihat SMS kamu nongol di inbox-ku dan aku benci kenapa aku harus memakan waktu begitu lama untuk membalasnya, menghapusnya, memikirkan kata demi kata. Aku benci ketika jatuh cinta, semua detail yang aku ucapkan, katakan, kirimkan, tuliskan ke kamu menjadi penting, seolah-olah harus tanpa cacat, atau aku bisa jadi kehilangan kamu. Aku benci harus berada dalam posisi seperti itu. Tapi, aku tidak bisa menawar, ya?

Aku benci harus menerjemahkan isyarat-isyarat kamu itu. Apakah pertanyaan kamu itu sekadar pancingan atau retorika atau pertanyaan biasa yang aku salah artikan dengan penuh percaya diri? Apakah kepalamu yang kamu senderkan di bahuku kemarin hanya gesture biasa, atau ada maksud lain, atau aku yang-sekali lagi-salah mengartikan dengan penuh percaya diri?

Aku benci harus memikirkan kamu sebelum tidur dan merasakan sesuatu yang bergerak dari dalam dada, menjalar ke sekujur tubuh, dan aku merasa pasrah, gelisah. Aku benci untuk berpikir aku bisa begini terus semalaman, tanpa harus tidur. Cukup begini saja.

Aku benci ketika kamu menempelkan kepalamu ke sisi kepalaku, saat kamu mencoba untuk melihat sesuatu di handycam yang sedang aku pegang. Oh, aku benci kenapa ketika kepala kita bersentuhan, aku tidak bernapas, aku merasa canggung, aku ingin berlari jauh. Aku benci aku harus sadar atas semua kecanggungan itu…, tapi tidak bisa melakukan apa-apa.

Aku benci ketika logika aku bersuara dan mengingatkan, “Hey! Ini hanya ketertarikan fisik semata, pada akhirnya kamu akan tahu, kalian berdua tidak punya anything in common,” harus dimentahkan oleh hati yang berkata, “Jangan hiraukan logikamu.”

Aku benci harus mencari-cari kesalahan kecil yang ada di dalam diri kamu. Kesalahan yang secara desperate aku cari dengan paksa karena aku benci untuk tahu bahwa kamu bisa saja sempurna, kamu bisa saja tanpa cela, dan aku, bisa saja benar-benar jatuh hati kepadamu.

Aku benci jatuh cinta, terutama kepada kamu. Demi Tuhan, aku benci jatuh cinta kepada kamu. Karena, di dalam perasaan menggebu-gebu ini; di balik semua rasa kangen, takut, canggung, yang bergumul di dalam dan meletup pelan-pelan…

aku takut sendirian.



*Tulisan ini terdapat dalam buku Kepada Cinta (Gagasmedia, 2009), buku kumpulan surat cinta dari berbagai macam penulis. Selain memuat 25 cinta para pemenang Sayembara Menulis Surat Cinta GagasMedia 2008, ada juga surat cinta dari Adhitya Mulya, Christian Simamora, Andi Eriawan, Ita Sembiring dan penulis lainnya.

Sunday, July 26, 2009

What I want and what comes true

0 goodnight kisses
Harusnya hari ini aku ngeliput jathilan (atau jatilan?) di Suroloyo, Kulon Progo. Kebetulan Mas Yonas lagi KKN disana dan dia berbaik hati menunjukkan desa itu padaku (that's very nice of you. Thanks a lot).

Suroloyo, according to my mom (and internet), is a great place. A romantic one. Pemandangannya oke banget, hawanya sejuk, dan sepertinya menyenangkan sekali kalau bisa hiking atau cross country disana. Suasananya alami banget, mungkin kayak waktu live in di Sumber, Muntilan. Kabarnya dari situ bisa ngeliat Borobudur dari atas. I really love Borobudur, so I MUST see that place (my favourite one) from above. At least someday. Bisa juga ngeliat 4 gunung besar di Pulau Jawa (Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Sumbing, dan Gunung Sindoro). Berasa di atas awan :D

And the greatest thing from Suroloyo adalah kita bisa ngeliat sunrise dari atas. Jelas banget, and totally awesome. Suroloyo emang bukit tertinggi di Pegunungan Menoreh (sekitar 1091 meter dari atas permukaan laut). Biasanya kalo tempat-tempat tinggi pemandangannya keren abis sih :P

Sayangnya, apa yang aku pengenin hari ini nggak jadi kenyataan. Entah karena ramalannya Mas Bagus (besok kamu akan mengalami kesulitan dalam menemukan kebahagiaan. Tapi kalau kamu berhasil mengatasi hambatan itu kamu akan mendapatkan kebahagiaan - udah lupa sih gimana. Pokoknya intinya itu lah) yang surprisingly true ataukah ini God's will. I don't know. Ada sedikit masalah dengan rantai motorku. Nyokap juga bego banget (sorry mom). Udah tau hari ini mau naik gunung, bukannya ngecek motor malah santai-santai aja, like there's no problem. Aku juga baru tau kalo Suroloyo tu di atas gunung (banget!) jadi untuk bisa kesana perlu tenaga ekstra. Katanya..

Yaah, i lost my chances. 1) ngliat Borobudur dari atas 2) ngliat Jatilan (sekarang udah langka banget di Jogja. Adanya cuma di daerah tertentu aja) 3) there's nothing to post for today, except this note. Huaa miris sih, tapi ya mau gimana lagi.

Kabar baiknya, aku dapet beberapa objek langka untuk dipotret: kebo (susah lho nyarinya), dakon bagus (only ten thousand rupiah), duckies (yang lagi di sawah), dan beberapa rumah kuno. I always find a way to fill up my cheer. See, ternyata mainan sama bebek nggak kalah asyiknya sama ngeliat Boroburur dari atas. Mungkin yang dibilang Mas Bagus ada benernya juga "...kalau kamu berhasil mengatasi hambatan itu, kamu bakal menemukan kebahagiaan". And I found my hapiness (in any other way) hehe. Cheers :D

anjroot! Sunrisenya Suroloyo keren banget gilaa!
MUST go there :)

Saturday, July 25, 2009

Anak Tukang Kue

0 goodnight kisses
Bel istirahat sudah berbunyi lima menit yang lalu. Tapi kelas XI IPS 1 masih saja ramai. Claudia, Tita, Icha, Mario, dan Nico tengah sibuk mengobrol sementara Mayang yang duduk di belakang sibuk membolak-balik majalah Kawanku keluaran terbaru yang dipinjamnya dari perpustakaan. Sejak tadi ia diam saja, bahkan berpura-pura asyik membaca majalah. Padahal kedua telinganya menyimak obrolan kelima temannya yang berdiri tak jauh dari kursinya.

”Tita, liat deh,”kata Icha sambil mengeluarkan sebuah novel dari dalam tasnya. Buku itu bersampul rapi dan masih baru. ”Bukunya udah keluar lho.”
”Waaahh,”teriak Tita dengan cengiran lebar. ”Akhirnya keluar juga. Ntar gue mau beli ah. Temenin ya, Cha?”
Icha mengangguk sambil tersenyum lebar. Mario, Nico, dan Claudia ikut mengerumuni Icha yang sudah mengoceh tentang isi buku itu.
”Eh, pulang sekolah jalan yuk?”ajak Mario. ”Gue sama Nico mau beli program nih.”
”Iya, udah lama kan kita nggak jalan-jalan,”sahut Nico.
”Ooh, sekalian nyobain brownies ice cream yang di cafe favorit kita !!”Claudia dengan semangat membayangkan enaknya makanan kesukaannya itu.

Uuh, dengar saja cerita-cerita mereka. Sepertinya kehidupan mereka enaaaak banget. Serba mewah. Apa-apa ada. Lain dengan Sekar yang harus meminta sampai jungkir balik sampai permintaannya dikabulkan. Itupun kalau orangtuanya punya uang. Orangtuanya kan hanya seorang tukang kue. Ayah memang berdagang di Pasar Senen, tapi ia lebih banyak menjual kue buatan Ibu ke tetangga-tetangga dan kenalan-kenalan mereka.

”Kenapa sih mereka harus punya yang aku pengen?”keluh Sekar diam-diam.

Seandainya saja ayah Sekar bekerja sebagai arsitek terkenal seperti ayah Tita, atau pemilik dealer mobil seperti ayah Mario, atau dosen seperti ayah Claudia, atau punya toko kelontong seperti ayah Icha dan Nico....

”Sekar nggak ke kantin? Serius amat baca majalahnya,”kata Icha sambil meringis. Sekar terkejut mendengar sapaan Icha.
”Jangan diganggu deh, Cha. Sekar kan harus update soal fashion. Jadi dia harus baca banyak majalah,”kata Tita.
”Iya. Jangan diganggu, ntar konsentrasinya ilang,”kata Mario melerai.
Sekar hanya merengut. ”Suka-suka gue dong!”sahutnya. Ah, seandainya saja Sekar sanggup bercerita kalau ia baru saja menemukan tempat asyik untuk menikmati weekend atau baru saja menonton film seru di bioskop, mau rasanya meninggalkan majalah pinjaman dari sekolah itu dan bergabung dengan teman-temannya yang rata-rata memiliki kemampuan ekonomi diatasnya itu. Tapi...

”Kantin yuk! Haus nih,”ajak Icha. Sekar hanya bisa memandangi punggung kelima temannya itu ketika mereka keluar kelas. Ada rasa lega menyelinap di dadanya. Sekarang Sekar tidak merasa terganggu lagi dengan percakapan mereka yang selalu membuatnya iri itu.

Ia hanya sendirian di dalam kelas. Perutnya memang selalu kenyang oleh sarapan lezat yang selalu dibuat ibunya. Sekar lebih suka membawa bekal kue-kue dari rumah yang dimakannya pada jam istirahat. Sementara teman-temannya berebut membeli makanan di kantin sekolah.

***

Seperti biasanya, setiap hari rumah Sekar selalu dipenuhi dengan asap dan aroma kue. Ayah dan Ibu Sekar bekerja di dapur, mengolah adonan menjadi kue yang nantinya akan dijual ayahnya berkeliling komplek perumahan di sebelah gang kecil tempat mereka tinggal. Sebenarnya Sekar kasihan melihat mereka harus bekerja keras untuk menghidupi dia dan kakaknya. Tapi entah kenapa, hari ini Sekar justru kesal melihat mereka sibuk di dapur.

Seandainya ayah Sekar seorang arsitek, atau pegawai kantor, atau pemilik toko, tentu saat itu Sekar tidak perlu memandangi dapurnya yang penuh jelaga dan hitam karena arang. Ibu juga tidak usah terlalu repot membuat kue. Jadi Ibu bisa menemani Sekar ngobrol di coffeeshop atau jalan-jalan ke mall. Kalau ayah sedang tidak sibuk, pasti ayah mengajak ibu dan anak-anak makan siang di restoran terkenal. Ah.. angan-angan seperti itu justru membuat Sekar bertambah gusar.

”Nak, ayah mau menjual kue-kue ini ke komplek sebelah. Ibu mau ke pasar membeli bahan-bahan untuk membuat kue. Kamu jaga rumah ya ! Jangan keluyuran,”pesan Ayah. Seperti biasanya Sekar hanya bisa mengangguk pasrah. Beginilah nasib anak tukang kue, selalu ditinggal-tinggal sendiri dan selalu disuruh menjaga rumah.

”Sekar mau ikut Ibu ke pasar?”tanya Ibu seakan dapat membaca pikiran Sekar.
”Aku di rumah aja, Bu,”sahut Sekar. Ikut ibu ke pasar? Uuh... membosankan sekali. Bayangkan saja, demi mendapatkan harga seratus rupiah lebih murah, Ibu rela berkeliling-keliling pasar. Kaki bisa capek. Sekar sudah kapok ikut Ibu berbelanja ke pasar. Apalagi peluang bertemu teman-temannya juga besar. Selama ini kan Sekar tidak mengatakan kebenaran tentang pekerjaan orangtuanya. Ia berlagak seperti anak orang kaya yang selalu hidup mewah dan fashionable. Makanya Sekar selalu khawatir jika ia bertemu teman-temannya di pasar. Alasan apa yang harus dipakainya?

“Ya sudah. Kalau begitu jaga rumah baik-baik. Kalau kamu belum makan, Ibu sudah siapkan nasi dan sayurnya di meja. Lauknya hanya ada 2. Sisakan satu untuk kakakmu,”kata Ibu. Sekar mengangguk. Setiap hari ibu hanya masak sayur. Lauknya pun hanya tahu dan tempe. Makan ayam pun hanya kalau ibu punya uang lebih saja. “Padahal kan aku ingin makan dengan lauk yang enak seperti teman-temanku. Ibu sih hanya bekerja sebagai tukang kue!!”gerutu Sekar ketika membuka tudung saji.

***

Sekar menghempaskan badannya ke kasur dengan kesal. Dia masih saja menyesali keadaan orangtuanya yang hanya bekerja sebagai tukang kue. Gara-gara ayah, aku tak bisa membeli handphone kamera keluaran terbaru seperti punya Claudia, atau membeli laptop Apple canggih seperti punya Icha, bahkan aku tak bisa membeli tas Reebok seperti punya Tita. Uh! Bahkan kamarku saja jelek begini. Kasurnya cuma kasur busa. Nggak ada TV, nggak ada AC, apalagi komputer. Aargh!!! Lagi-lagi Sekar menyesali nasibnya.

“Sekar... ayo makan,”kata Ibu dari luar kamar. Sekar yang sedang kesal dengan orangtuanya berpura-pura tidak mendengar.
“Biar saja. Biar Ibu tahu kalau aku nggak mau makan pake lauk orang desa,”pikirnya.
“Sekar.....,”Ibu kembali memanggil. Namun tak ada sahutan. “Ya sudah, nanti Ibu sisakan untukmu saja.”

Sekar sudah bosan dengan lauk orang desa yang setiap hari harus dimakannya. Tahu, tempe, tahu, tempe.. Bosan! Ia ingin makan makanan enak seperti makanan teman-temannya, yang ada kejunya, yang ada saus Inggrisnya. Tentu saja orangtuanya hanya bisa menyediakan kecap dan sambal bikinan sendiri. Lagi-lagi Sekar kesal dengan keadaan orangtuanya. Kakaknya juga sama saja. Kak Puput lebih suka memihak kepada orangtuanya. Kakaknya lebih memilih hidup sederhana dan tidak berpura-pura menjadi orang kaya hanya karena malu menjadi anak tukang kue. Tapi sejak tadi siang ia belum makan. Perutnya keroncongan. Akhirnya Sekar mau juga keluar kamarnya.

“Ibu masak apa?”tanya Sekar ketus sambil duduk di meja. Mengamati meja itu.
“Ibu masak sayur sop, tempe goreng, sama sambel,”jawab Ibu sambil mengambilkan piring untuk Sekar. “Kamu mau makan apa?”
“Aku bisa ambil sendiri kok!”kata Sekar sambil mengambil piring yang disodorkan Ibu untuknya. Diamatinya makanan yang tersedia di meja makan. Dengan perasaan kesal, Sekar berjalan menuju lemari di dekat dapur. Mengambil telur yang tersisa dan sebungkus mie instant. Dengan cepat dibuatnya makanan itu dan dibawanya ke meja makan tanpa mempedulikan Ibunya yang susah payah memasak.

“Kok kamu malah bikin mie sih? Ibu kan udah masak,” Puput, kakaknya menegur Sekar.
“Suka-suka aku dong. Aku nggak mau makan masakan Ibu. Bosen. Tiap hari lauknya tempe-tahu-tempe-tahu. Nggak ada yang lain apa? Bisa-bisa aku jadi manusia tempe kalo tiap hari makan kaya gitu!!”bentak Sekar.
“Tapi kan Ibu udah masak. Sayang kan kalo nggak dimakan,”kata kakaknya.
“Aah. Kakak bawel banget sih! Nggak usah ngurusin aku deh. Urus aja diri kakak sendiri!”kata Sekar cuek sambil terus menyantap mie instantnya. Keluarganya hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan Sekar.

***

Seperti siang-siang sebelumnya, Sekar sendirian di rumah. Ibunya pergi ke pasar, ayahnya masih berkeliling menjajakan dagangan, sementara kakaknya masih les di sekolah. Sambil makan sisa-sisa kue yang gosong, Sekar menonton TV di ruang tamu merangkap ruang tengah. Tapi ternyata ayah pulang lebih cepat dari perkiraan.
“Ayah kok udah pulang? Laku kue-kuenya?”tanya Sekar heran. Ayah Sekar meletakkan motor bututnya di teras depan rumah.
“Tentu saja laku. Kalau belum laku Ayah masih berkeliling sampai sore,”sahut Ayah.

Ada rasa haru menyelinap perlahan di dada Sekar. Ayah memang ulet sebagai penjual kue. Ayah tidak malu berkeliling-keliling komplek perumahan elite untuk menjual kue buatan Ibu. Ayah juga sabar melayani pelanggan. Bahkan banyak orang menyukai ayah. Tapi, kenapa ayah tidak menjadi pegawai kantor saja? Ah, lagi-lagi Sekar menyesali keadaan orangtuanya.

“Tadi ayah menjual kue ke Citra Garden, perumahan yang elite itu. Ternyata banyak orang disana yang suka kue buatan ayah,”cerita Ayah.
“Ayah jualan disana?”Sekar kaget kaget bukan kepalang.
“Ya. Memangnya kenapa? Mungkin ayah akan berjualan disana saja. Pasti cepat laku,”kata ayahnya dengan gembira.

Bukannya senang, Sekar justru semakin gelisah. Citra Garden kan perumahannya tempat teman-temannya tinggal. Mereka akan mengolok-oloknya kalau sampai tahu ayahnya ternyata seorang penjual kue keliling. Selama ini kan mereka tidak pernah tahu pekerjaan orangtua Sekar yang sebenarnya. Yang mereka tahu, orangtua Sekar adalah seorang pedagang di pasar. Aduuh, bagaimana ini? Ini semua gara-gara ayah! Kenapa harus jualan disana? Kenapa tidak berjualan ke tempat lain saja? Kenapa ayahku harus menjadi seorang tukang kue? Kenapa? Kenapa? Kenapa?

***

Esoknya Sekar sengaja menghindari teman-temannya, teruta Tita, Claudia, Icha, Mario, dan Nico. Waktu mereka masih berada di dalam kelas saat istirahat, diam-diam Sekar pergi ke kantin. Meski makanan yang ada di kantin tidak seenak buatan ibunya, Sekar tetap melahap bakso yang baru saja dipesannya. Perasaan takut ketahuan sebagai anak tukang kue terus menerus menderanya.
”Kok tumben makan di kantin?”tanya Mario.
”Iya. Biasanya kan lo bawa bekal sendiri,”timpal Icha.
Jantung Sekar berdegup kencang. Ternyata Icha, Tita, Claudia, Mario, dan Nico ada di kantin. Karena meja sudah penuh, mereka bergabung dengan Mayang yang baru menghabiskan separuh baksonya.
”Kita duduk disini ya, Kar,”kata Claudia sambil duduk di sebelah Sekar. Keempat temannya mengikuti. Sekar langsung berkeringat dingin.
”Aduh, mereka tau nggak ya?” Mayang bertanya-tanya dalam hati.

”Eh, kemaren ada tukang jualan baru di komplek. Gue ketemu pas gue barusan pulang dari mall. Bapaknya jualan kue-kue gitu,”cerita Claudia sambil menggigit tempe goreng yang dibelinya.
”Jualan apa?”tanya Mario.
”Kue-kue gitu,”jawab Claudia. Jantung Sekar serasa berhenti berdetak. Itu pasti ayahnya !
”Enak nggak? Jangan-jangan kue-kuenya nggak enak lagi!”komentar Icha.
”Lumayan lah. Enakan bikinan bapaknya daripada kue di kantin,”kata Claudia.
”Hah? Masa sih?”
”Penasaran gue...”
”Kapan-kapan gue beliin deh, pas kalian ke rumah gue,”kata Claudia.
”Eh, ntar pulang sekolah kan kita mau ngerjain tugas geografi di rumah lo,”kata Nico.
”Oh, iya. Semoga aja bapaknya lewat depan rumah,”kata Claudia.
”Lo mau ikut, Kar?”tiba-tiba Mario menawari Mayang. Sekar yang tengah minum segelas air terkejut dan nyaris saja tersedak. Cepat-cepat ia menggeleng.
”Nggak ah. Gue udah ngerjain tugasnya kok,”jawab Sekar cepat-cepat. Ikut? Yang benar saja! Itu sama saja memberi umpan pada buaya!

***

Sepanjang siang, Sekar terus menerus memandangi jalan depan rumahnya. Ibunya pergi ke pasar. Kakaknya belum pulang sekolah. Dan ayah pasti sedang berkeliling menjajakan dagangannya. Sejak tadi ia cemas memikirkan reputasinya di hadapan teman-temannya itu. Sisa-sisa kue tak disentuh sama sekali dan TV hanya dibiarkan menyala. Tapi ayahnya tak kunjung pulang.

Setengah jam kemudian terdengar suara motor butut ayahnya dari ujung gang. Sekar cepat-cepat berlari ke depan rumah dan menunggu ayahnya. Ia tak sabar menantikan kabar dari ayah. Dalam hati Sekar berharap banyak, semoga saja ayah tidak berjualan di komplek rumah Claudia.

”Sekar, ayo bantu ayah menurunkan keranjang-keranjang ini,”kata Ayah ketika sampai di rumah. Biasanya Sekar malas membantu ayahnya. Namun kali ini ia rela melakukan pekerjaan yang dianggapnya pekerjaan orang desa itu demi mendapatkan informasi dimana ayah berjualan.
”Kok cepet, yah?”tanya Sekar.
”Iya. Dagangan ayah diborong sama dua orang,”cerita ayah sambil mengelap keringat yang menetes di wajahnya dengan handuk.
”Ibu-ibu, yah?”tanya Sekar lagi.
”Waktu ayah berangkat, ada ibu-ibu yang lagi arisan. Kebetulan makanannya kurang. Jadi kue ayah diborong.”
”Trus kok ayah nggak langsung pulang?”
”Yah, dagangan ayah kan masih. Jadi ayah keliling ke komplek perumahan yang ayah ceritakan kemarin.” Sekar terbeliak kaget.
”Ternyata disana ada teman kamu, ya. Namanya.. uhm.. Claudia.”
”Ayah menjual kue kesana?” Sekar semakin kaget.
”Ya. Teman-temanmu itu orangnya baik dan ramah. Walaupun mereka orang kaya, mereka tetap mau makan kue bikinan Ayah. Biasanya kan mereka makan kue-kue yang mahal.”

Tapi Sekar justru semakin gelisah. Bocorlah sudah rahasiaku sebagai anak tukang kue, batin Sekar dengan masgul. Entah apa yang akan terjadi besok. Sekar tak bisa membayangkannya. Mungkin ia akan membolos saja supaya tidak usah bertemu dengan teman-temannya itu. Tapi alasan apa yang akan dipakainya? Lagipula ayah dan ibu pasti akan curiga dan menanyai Sekar macam-macam. Tidak mungkin ia berpura-pura sakit.

Esoknya Sekar sengaja menghindari tatapan teman-temannya. Ia masih malu dan khawatir kalau-kalau Claudia membocorkan rahasianya ke teman-teman sekelas. Begitu bel istirahat berbunyi, Sekar langsung bersiap ngacir ke perpustakaan, tempat yang dianggapnya jauh dari jangkauan Icha, Tita, Mario, Nico, ataupun Claudia.

”Sekaaaarr,”teriak Claudia dengan keras. Seisi kelas yang saat itu belum keluar langsung menoleh. Jantung Sekar langsung berdegup kencang sekali, sampai mau copot rasanya. ”Kok nggak pernah bilang sih kalau bokap lo jualan kue?!”
”Aduh, mati gue. Sekarang semua orang udah tau kalo ayah cuma seorang tukang kue,”kata Sekar dalam hati.
”Err.. ehm... gue...,”Sekar tak sanggup berkata-kata.
”Iya nih. Pantesan aja nggak pernah jajan di kantin,”timpal Icha.
”Selama ini lo nyimpan rahasia ya ! Jahat lo!”kata Claudia.
”Eh, sebenernya...”lagi-lagi Sekar tak sanggup melanjutkan omongannya. Apa yang harus ia katakan? Semua orang sudah mendengar kebenarannya dari mulut Claudia.
”Besok bawa dong, kue-kue buatan nyokap lo ke sekolah. Habis enak sih.. murah lagi,”kata Claudia.
”Iya, Kar. Masa diam-diam aja. Gue kan juga doyan tuh kue-kue enak,”tambah Nico.
”Iya, jahat lo, Kar. Padahal kan lo tau sendiri makanan kantin tuh nggak enak banget! Lagian harus capek-capek turun ke bawah. Coba lo bilang dari dulu,”kata Icha dengan tampang kesal.

Teman-teman Sekar dan Sekar sendiri tertawa mendengar ucapan Icha. Sekar mengangguk senang. Ah, ternyata menjadi anak tukang kue juga bisa sebahagia mereka yang ayahnya arsitek, dosen, pemilik dealer mobil, atau pemilik toko kelontong.

again with the ghost (after latihan koor Mudika)

0 goodnight kisses
Waktu itu udah sepi. Anak-anak Mudika sebagian besar udah pada pulang, tinggal Mas Yonas, aku, Om Bayu, Babi, Mas Ganjar, trus siapa ya? Lupa.. Udah lebih dari jam 10 sih (mataku udah mulai ‘nggak beres’). Di sekitar rumahnya Mbah Dar juga udah sepi banget. Nggak ada satu pun orang yang keluar (dan disana berasa kayak tempat live in, singup). Rumah-rumah di sekitar situ masih rumah jadul, banyak kebon&pohon, dan lembab. Cocok banget buat berkembang biak jenis-jenis makhluk yang ga bisa diliat dengan mata biasa.

Waktu itu aku lagi nanya-nanya soal OSPEK UGM ke Mas Yonas. Ngebandingin fakultas yang satu dengan yang lain, semacam itulah. Trus tiba-tiba auranya jadi nggak enak. Dingin dan mencekam. Anginnya agak-agak aneh. Tapi kayaknya cuma aku yang ngrasain itu, soalnya yang lain tetep ngoceh aja. Atau jangan-jangan aku yang nggak beres.. Hawa dingin (aka setan) itu terus bergerak. Kayaknya sih dia jalan, ehm, melayang. Aku mulai gelisah, nggak tenang, pengen noleh tapi takut ngeliat. Tapi pengen tau juga itu apaan. Trus pas ga sengaja noleh (gara-gara Revi), aku melihat sesosok bayangan. Mukanya serem banget, tapi nggak begitu jelas, soalnya ngliatnya dari jauh. Nggak jelas juga kakinya menapak apa enggak. Aku ngliatin dia terus. Trus tiba-tiba dia noleh, NGLIATIN AKU, trus meringis. Entah senyum, entah marah, entah nakut-nakutin. Giginya gede-gede banget, trus ada merah-merahnya (semoga bukan darah). Huaaaa. Mampus. Aku langsung shock. Pengen teriak tapi ga bisa, kayak kekunci gitu. Pengen nangis ga bisa, saking takutnya. Noleh juga ga bisa, saking shocknya. Seumur idup baru sekali ini ngalamin begituan.

Setelah berhasil membuatku shock, setan itu jalan lagi. Nggak tau kemana. Dan pada latihan-latihan berikutnya, dia nggak pernah muncul lagi.

Anyway, ada yang tau itu setan jenis apaan?


Ps: gara-gara kejadian itu, aku jadi peramal dadakan :P wew

Sony-ku sayang, Sony-ku malang

0 goodnight kisses
Sony… sony…
Jantungku berdetak tiap ku ingat padamu
Sony… sony…
Mengapa ada yang kurang saat kau tak ada
Sony… sony…
Salamku untukmu dari hati yang terdalam

Kau tak sempat tanyakan aku
Cintakah aku padamuu.. uhu…

Tiap kali aku berlutut, aku berdoa
Suatu saat kau bisa kembali padaku
Tiap kali aku memanggil di dalam hati
Mana sony? Mana sony-kuuuu?
Mana sony-ku?
Huu..huuhu…

Pendengar sekalian, lagu ini special dikirimkan untuk Mas Sony yang sedang sekarat (koma) di rumah sakit. Sampai sekarang kakanda Sony belum mendapat sumbangan organ tubuh yang akan membuatnya hidup. Ia koma selama 6 bulan. Hidupnya sangat tergantung pada kabel-kabel yang menempel di tubuhnya. Entah sampai kapan ia akan bertahan….

Sony-ku. Teman baikku. Sahabatku dikala malam menjelang. Teman yang setia menemaniku. Sumber pengetahuanku. Penggembiraku. Penghiburku dikala aku sedang butuh hiburan. Guruku belajar. Kini hanya tinggal kenangan…

***

Itu semua hanya intro, saudara-saudara. Biar keliatan dramatis gitu. Hahaha. Padahal yang diomongin cuma Si Sony, tvku yang sekarang ada di rumah sakit (tukang reparasi tv).

Sore itu jam menunjukkan pukul 17.00. Aku barusan pulang sekolah. Tanpa banyak cingcong aku langsung duduk di ruang tengah, ambil remote dan menyalakan tv. Pencet tombol ON. Tapi nggak ada perubahan. Aku matiin tu tv secara manual. Trus dinyalain lagi. Sama aja. Ada apa ini? Wah aku udah mulai deg-degan. Jangan-jangan remotenya rusak, saking soaknya.. trus aku copot kabel TVnya dari stop kontak. Pasang lagi. Eeh tetep aja mati. Padahal jam sudah menunjukkan pukul 17.08. Waa, aku nggak mau melewatkan acara kesukaanku itu. Akhirnya dengan biadab aku pukulin tu Sony pake kemoceng. Dengan jurus dewa-mabok-duren, aku mulai beraksi. Hiyaaa ciat ciat.. dan akhirnya pas aku nyalain lagi tu tv… BERHASIL, SAUDARA-SAUDARA! Yess

Lima menit kemudian tvnya mati. Nggak mau idup sama sekali. Mas sony.. jangan matii (heboh).
Aduuh kakanda, apa yang bisa adinda lakukan tanpa kehadiranmu, kanda? Dinda tak bisa menonton jejak petualang. (lebay)

Bokap dateng. Ngecek tu tv dan akhirnya membawanya ke tukang reparasi tv deket rumah. Aku menunggu dengan setia dan sabar di rumah.

Jam 7 malem bokap balik, dia bilang gini “TVnya nggak bisa diperbaiki. Onderdilnya ada yang rusak. Nggak ada gantinya soalnya itu dari Jepang”. Makbedunduk aku langsung pingsan (ya nggak lah). Pupus sudah harapanku. Mana tu tv cuma satu-satunya pula (keluargaku menganut paham: lebih baik membaca buku daripada menonton televisi, apalagi sinetron, yang tidak bermutu itu). Bokap-nyokap menolak membeli televisi baru, karena acara tv sekarang nggak bermutu, nggak mendidik, nggak ada ‘isinya’, cuma melebih-lebihkan, hanya demi uang semata, dan lebih baik tidak usah menonton tv. Pas aku komentar, ‘ntar nggak tau berita dong!’, nyokap cuma bilang ‘halah. Berita di TV tu udah dimanipulasi. Mending baca koran aja.’ Yah, sudah tidak ada kemungkinan untuk membeli TV (dan tidak ada nilai plus lagi dari TV) :(

Sampai ketika postingan ini ditulis, Si Sony masih di rumah sakitnya. Dan aku masih aja nggak punya TV.

Ada ular di rumahku!

0 goodnight kisses
Belakangan ini gue sering uring-uringan.
Disuruh jagain rumah lah, masak lah, nggak boleh kemana-mana lah, berasa jadi TKW di rumah sendiri. Sejak eyang pindah ke rumah Ngadisuryan, bokap nyokap menerapkan aturan baru: kalo satu pergi, satu jaga rumah. It means, kalo bokap nyokap gue lagi keluar rumah, gue yang harus jadi herder.

Awalnya sih menyenangkan. You know, di rumah sendiri berasa bebas ngapa-ngapain. Seakan rumah hanya milikku seorang. Tapi lama-lama ngebosenin juga. Soalnya tugas gue nggak cuma jaga rumah, tapi juga termasuk membersihkan seisi rumah (termasuk nyuci, jemur baju, nyetrika, waaaa). Itung-itung latian jadi ibu rumah tangga, kata temen-temen gue. Ckckck

Kemaren, gue pas lagi sebel-sebelnya sama nyokap. Gue sama simbah rencana mau main. Biasa lah, narsis-narsisan sekaligus mau wisata kuliner. Hari sudah ditentukan. Jam dan tempat sudah dibahas. Eeeh, pas hari H, nyokap nggak ngebolehin gue keluar. Malahan gue disuruh bantuin dia ngurusin acaranya yang-agak-aneh-itu. Iih nyebelin banget!!

Nyokap gue lagi make computer, bikin proposal workshop. Sementara gue mau ambil gelas di belakang. Gue denger suara kresek-kresek gitu. Gue pikir kucing. Soalnya kucing-kucing liar udah biasa masuk rumah gue (sialan). Ternyata bukan. Pas gue liat ke deket lemari VCD, ada ular. ULAR! SNAKE! Oh my gosh, gue langsung teriak sekenceng-kencengnya dan lompat ke atas meja. Baru pertama kali ngeliat ular (ternyata kecil tapi mengerikan sekali). Nyokap gue langsung manggil bokap. Tu ular kayaknya bingung nyari jalan keluar. Akhirnya dia cuma ndekem di bawah lemari.

Gue makin panik. Sumpriit, gue takut banget sama ular. Ngeliat gambarnya aja nggak berani. Apalagi ngeliat langsung. Waaaa...

Bokap gue (yang luar biasa berani, menurut gue) mencoba mengeluarkan ular itu dari bawah lemari. Dengan tongkat pramuka ala kera sakti, bokap gue mulai menyodok-nyodok bagian bawah lemari. Sekali, dua kali, akhirnya ularnya keluar. NYARIS MASUK KAMAR (gue nggak bisa ngebayangin apa yang terjadi kalo ular itu sampe masuk kamar. Mungkin gue nggak bakal tidur disana seumur hidup). Ularnya dipukul sekali pake sapu lidi. Belom mati sih. Dia masuk lagi ke bawah lemari.

Bokap gue kembali menyodok-nyodok lemari. Ularnya malah naik ke atas payung (di deket lemari). Gue yang berdiri di atas lemari buku ngeliatin aja. Emangnya ular bisa manjat-manjat? Bahaya dong, ntar kalo dia naik tempat tidur gue.. waaa nggak usah dibayangin deh.

Akhirnya dia mau juga keluar. Abis itu langsung dipukul dengan biadap pake sapu lidi. Si ular jadi almarhumah. Gue masih aja di atas lemari. Dalem ati gue bilang ”may you rest in peace”. Nyokap gue datengin tu ular yang masih kejet-kejet. Wiw.

Lalu bokap gue dengan tenangnya bilang ’cuma ular kayu’. CUMA! CUMA! Ular kayu yang segede bolpen itu bisa bikin gue naik ke atas lemari, apalagi ular yang gede. Bisa-bisa gue pingsan mendadak.

Nyokap gue bersihin bekas TKP si ular, sementara bokap gue buang tu ular ke belakang rumah. Gue masih aja di atas lemari. Shock berat.

Sejak saat itu kayaknya gue agak-agak gimanaa gitu. Takut kalo tau-tau pas gue berdiri trus ada ular nyalip kaki gue. Sampe-sampe gue bawa buku tebel kemana-mana. Berjaga-jaga kalo tau-tau ada ular masuk. Jadi tu buku bisa gue timpuk ke ularnya. Itu hanya imajinasiku, saudara-saudara. Siapa tau. Tapi JANGAN SAMPE!

Selalu ada hikmah dibalik semua peristiwa.
Yang paling penting, kalo ada ular masuk rumah, timpuk aja pake buku yang tebel banget. Kamus misalnya. Atau timpuk pake ember isi tanah. Jangan pake buku yang mahal, seperti harry potter edisi hard cover. Mahal. Anda tidak mau buku anda berhiaskan darah si ular kan?

Oh ya, darah si ular harus cepet dibersihin, karena (menurut orang-orang) ular lain akan berdatangan setelah mencium bau darah itu. Eeuuww...


Ini fakta.
Sebaiknya anda percaya.
Hahaha